Simposium Nasional Ma’had al-Jami’ah

Simposium Nasional Ma’had al-Jami’ah

IAIN Kudus, 04-06 Desember 2018

IMG-20181205-WA0001[1]

Selasa-Kamis, 04-06 Desember 2018, pengelola Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung turut serta menghadiri simposium nasional Ma’had al-Jami’ah yang dilaksanakan di IAIN Kudus Jawa Tengah. Turut serta dalam kegiatan ini, Mudir Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung, Dr. K.H. Teguh, M.Ag., Sekretaris Ma’had al-Jami’ah, Wikan Galuh Widiarto, M.Pd., Kabid Madin, Muhamad Fatoni, M.Pd.I dan Kabid Bahasa, Rohmad, S.Hum., M.Pd.I

Rombongan berangkat dari kampus pada kisaran pukul 09.00 WIB dengan kendaraan dinas kampus. Berangkat melalui jalur tol wilangan dan sampai di lokasi pada kisaran pukul 15.30 WIB. Kami langsung menuju hotel untuk istirahat, karena perjalanan yang cukup melelahkan.

Pembukaan acara dilaksanakan pada sore hari pukul 16.00 WIB hingga selesai. Kami mulai mengikuti acara pada malam hari setelah maghrib.

Sebagai awal kegiatan diadakan khatmil Qur’an bersama para mahasantri ma’had al-jami’ah IAIN Kudus. Do’a tawasul dipimpin oleh K.H. Abdul Syukur, Mudir IAIN Salatiga, Tahlil oleh Ustadz  Afif dari UIN Maliki Malang, do’a khatmil Qur’an oleh Muhamad Fatoni dari IAIN Tulungagung dan tausiyah oleh Mudir Banjarmasin.

Dalam tausiyahnya Mudir Banjarmasin menyampaikan, bahwa penyebab mahasiswa gagal dalam belajarnya adalah karena empat hal. Empat hal itu harus dijauhi, yakni jangan menjadi ayam, jangan menjadi burung merpati, jangan menjadi burung gagak dan jangan menjadi burung merak.

Jangan menjadi ayam maksudnya jangan menjadikan cinta di atas segalanya. Kegagalan mahasiswa seringkali disebabkan karena mereka selalu mengedepankan cinta. Kuliah menjadi terabaikan demi memenuhi hasrat cintanya.

Jangan menjadi burung merpati, artinya jangan menjadi mahasiswa yang malas. Merpati itu tidak bisa mencari makan kalau tidak diberi makan. Mahasiswa yang malas dan menjagakan orang lain, tanpa mau berusaha dan bekerja keras meraih mimpinya, mustahil ia bisa meraih kesuksesan.

Jangan menjadi gagak, artinya jangan suka teriak-teriak di luar dan diam disaat diminta berbicara. Penyakit yang sering menjangkiti mahasiswa adalah saat mereka di ruang kuliah mereka diam seribu bahasa dan banyak bicara di luar. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih sering mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat.

Jangan menjadi burung merak. Burung merak lebih suka menebar pesona. Menjadi mahasiswa jangan hanya bersolek dan berdandan. Mengutamakan penampilan sementara kemampuan berpikir justru diabaikan.

Selanjutnya beliau juga menyampaikan empat kunci yang menentukan kesuksesan mahasiswa. Beliau menyitir ayat al-Qur’an, Surat al-Ghasiyah; 16-20. Ada empat hal yang harus diperhatikan di sana yakni, unta, langit, gunung dan bumi.

Unta, pandangannya jauh ke depan dan focus pada tujuan. Mahasiswa yang ingin sukses dalam belajarnya harus focus pada tujuan belajarnya. Jangan sampai mereka tergoda dengan berbagai godaan yang bisa saja merugikan dirinya, hingga proses belajarnya terganggu.

Gunung, kokoh dalam pendirian. Jangan mudah goyah dengan berbagai ujian dan cobaan. Tetap focus pada tujuan dan jangan goyah dengan berbagai ujian yang datang menyapa.

Langit, luas tak terbatas nan tinggi. Mahasiswa harus memiliki wawasan luas. Memperbanyak membaca dan belajar agar terbuka wawasan berpikirnya.

Bumi, tanah, semakin disakiti semakin ia menjadi subur. Rubahlah setiap hal negatif menjadi hal positif. Jangan menjadi pendendam dan selalu mengingat-ingat kesalahan orang. Ingatlah, bahwa semua ujian yang diberikan disesuaikan dengan kadar kemampuan manusia. Maka bersabarlah dalam setiap ujian dan jadikan setiap hal yang menyakitkan menjadi hal yang membahagiakan.

Sesi berikutnya yang merupakan inti materi pertama disampaikan oleh K.H. Abdul Jalal ketua Asosiasi Ma’had Ali dari Pasuruan. Beliau banyak mengulas mengenai pesantren dan terminologinya serta berbagai tradisi pesantren yang unik dan berbeda dari umumnya model pendidikan di dunia modern. Pesantren bukan sekedar melakukan transformasi ilmu semata, lebih dari itu ia juga menanamkan “khasyatullah” pada diri para santrinya.

Banyak kisah dan petuah yang ada di tengah-tengah kalangan pesantren saat para santri sedang nyantri. Terkadang ada hal-hal yang secara logika tidak bisa diterima, namun hal itu ada di dunia pesantren. Pesantren membentuk karakter santri yang senantiasa ta’dhim dan taat pada sang guru, menumbuhkan rasa “kumanthil” pada diri murid kepada kyainya.

Menurut beliau saat berbicara tentang pesantren, artinya kita juga berbicara mengenai budaya, bukan hanya sekedar proses pendidikan. Pesantren menjadi satu tradisi yang ditanamkan oleh para pendahulu yang mensyi’arkan Islam pertama di bumi nusantara. Santri yang kembali ke kampung halamannya tetap saja tabarukan pada gurunya dengan menyertakan nama pesantren tempat belajarnya saat dia mendirikan pesantren.

Pada tahapan berikutnya, tatanan budaya itu menjadi terkikis saat penjajah datang dan menduduki bumi nusantara. Pesantren mulai mengalami pergeseran, hingga banyak yang keluar dari tradisi yang telah dibangun oleh para salafus shalih. Bermunculanlah beragama pesantren. Ada yang tetap dengan tradisinya yang dikenal dengan pesantren salaf, ada pesantren modern, ma’had ali dan ada lagi ma’had al-jami’ah.

Semua pesantren tersebut semestinya terus dibina dan dikembangkan. Jangan sampai dibiarkan begitu saja sehingga tidak memiliki ruang untuk berkembang, termasuk di dalamnya adalah ma’had al-jami’ah. Memang, jika mengacu pada definisi yang diajukan oleh Zamahsyari Dhafir, Ma’had al-Jami’ah belum memenuhi tetapi tidak ada salahnya dan bahkan perlu untuk dibina dan dikembangkan dengan baik.

Adapun Ma’had Ali diadakan dengan spesifikasi khusus. Pesantren yang mendirikan ma’had ali tidak boleh mendirikan lebih dari satu cabang keilmuan yang menjadi spesifikasinya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pembelajaran ma’had sesuai dengan ciri khusus yang membedakannya dari yang lain.